Di Era Presiden Jokowi Rupiah Lemah, Ukuran
Tempe Makin Mini
KONFRONTASI
- Para produsen tahu dan tempe di Kabupaten Pasuruan mulai resah seiring terus
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Sebab,
kondisi itu mengakibatkan harga bahan baku terus merangkak naik. Padahal, saat
ini harga kedelai impor tergolong mahal.
Salah
satu yang mengeluhkan kondisi itu adalah Zaini, 52, produsen tempe di Kelurahan
Gempeng, Kecamatan Bangil. Zaini mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah
dipastikan berpengaruh terhadap produksi tahu dan tempe. Sebab, banyak produsen
yang menggunakan kedelai impor dari Amerika Serikat.
’’Produsen
lebih suka kedelai impor karena lebih mudah dibersihkan. Selain itu, hasilnya
lebih mengembang. Tetapi, kalau rupiah terus melemah, ini sangat
mengkhawatirkan,’’ terangnya kepada Jawa Pos Radar Bromo, Jumat (6/3).
Menurut
dia, jika rupiah terus melemah, ongkos produksi dipastikan bertambah. Sebab,
harga bahan baku kedelai yang mengandalkan pasokan impor otomatis ikut
melonjak. Dampaknya, harga tahu dan tempe ke pembeli terkerek.
Dia
menuturkan, sepekan ini harga kedelai impor naik, dari Rp 8.000 menjadi Rp
8.500 per kilogram. Padahal, stok kedelai tersebut dibeli sebelum nilai tukar
melemah. ’’Jika nanti rupiah terus melemah, jelas harga kedelai akan lebih
mahal,’’ ujarnya.
Dia
mengaku biasanya membeli langsung kedelai impor sebanyak 10 ton. Sekitar 3
kuintal di antaranya kemudian diolah menjadi tempe setiap hari. Jika harga
kedelai terus naik, Zaini mengaku tidak punya pilihan untuk menaikkan harga
jual tempe produksinya.
’’Saya
tak mau mengecilkan ukuran. Jadi, (harga tempe) untuk ukuran 30 x 20 sentimeter
(cm) saya naikkan dari Rp 30 ribu menjadi Rp 35 ribu. Tetapi, biasanya pedagang
yang mengatur besarannya ke konsumen. Entah dipotong lebih kecil agar harga
jualnya tetap atau yang lain,’’ paparnya.
Dia
memastikan, kenaikan harga tempe akan berpengaruh pada penjualan. Zaini
menyebut, ada penurunan penjualan 5–10 persen. ’’Sebab, yang (harganya) naik
kan tidak hanya tempe. Beras dan elpiji juga. Jadi, banyak konsumen yang
mengurangi pembelian,’’ tuturnya.
Akhmad
Mufid, 42, produsen tempe di Gempeng, Bangil, Kabupaten Pasuruan, juga
mengeluhkan terus melemahnya rupiah. ’’Jelas sangat berpengaruh karena kedelai
yang menjadi bahan baku produksi kami adalah jenis impor. Jadi, kalau dolar
naik, dipastikan harga kedelai juga akan lebih mahal,’’ ungkapnya.
Untuk
menyiasati makin mahalnya harga kedelai, Mufid memilih untuk mengecilkan ukuran
tempe produksinya agar harga jual ke pedagang tetap.
Misalnya,
mengurangi ukurannya hingga 1 cm. ’’Harga jual kami tetap. Hanya, ukurannya
diperkecil agar para pembeli tidak merasa harga tempe naik,’’
ujarnya.(Juft/Jpnn)
Dari permasalahan
diatas penulis mencoba menanggapi artikel tersebut :
Tingginya biaya
produksi dapat terjadi dalam beberapa hal baik dari segi nasional maupun
internasional. Salah satu permasalahannya adalah melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar yang semakin terpuruk akhir-akhir ini, hal tersebut berdampak
secara langsung bagi produsen yang memakai bahan baku dari luar negeri atau
impor. Dari melemahnya rupiah mengakibatkan mahalnya biaya bahan baku yang
mengakibatkan tingginya biaya poduksi, sehingga berdampak langsung bagi
pengusaha tersebut.
Karena biaya produksi
meningkat maka para penjual khususnya penjual tempe menaikan harga jual mereka
dan mengurangi produksi mereka agar tidak mengalami kerugian, salah satunya
membuat ukuan tempe lebih kecil dari biasanya. Hal ini akan meresahkan
masyarakat.
Solusi yang dapat
diberikan penulis adalah supaya pemerintah dapat menstabilkan nilai tukar
rupiah dan dapat menurunkan inflasi, pemerintah harus sigap dalam menghadapi
problematika ekonomi yang melanda. Pemerintah juga bisa memberikan subsidi atau
dapat menemukan cara lain agar tidak bergantung pada produk impor dengan cara
memperbanyak produksi kacang kedelai dalam negeri.
Sumber :
http://www.konfrontasi.com/content/ekbis/di-era-presiden-jokowi-rupiah-lemah-ukuran-tempe-makin-mini